Senin, 12 Februari 2018

Review Buku : Evergreen

Judul Buku : Evergreen
Pengarang : Prisca Primasari
Penerbit : PT Grasindo
Diterbitkan, pertama kali : Jakarta, Juni 2013
Cetakan kedua : Jakarta, Oktober 2013
Editor : Anin Patrajuangga
Desain Kover & Ilustrasi : Lisa Fajar Riana
Tebal : 203 hlm, 20 cm
ISBN : 703-13-1-032

Sinopsis :

Konichiwa! Selamat datang di Evergreen, kafe es krim penuh pelayan baik hati, lagu The Beatles akan melengkapi hari-harimu. Tempat yang menghangatkan, bahkan bagi seorang gadis pengeluh dan egois sepertimu, Rachel!

Di kafe itu, kau menemukan sebuah dunia baru, juga pelarian setelah dipecat dari pekerjaanmu. Menurutku itu bagus! Apa enaknya sih kerja jadi editor?

Namun, sebenarnya butuh berapa banyak kenangan dan sorbet stroberi untuk mengubah sifat egoismu? Atau yang kau butuhkan sebenarnya hanya kasih sayang? Mungkin dariku, si pemilik kafe? Hmmm?

Memaafkan. Sesuatu yang sulit sekali diberikan. Padahal dengan melakukan itu, berarti kita menyelamatkan hati kita sendiri. Pernahkah kau mendengar, bahwa ketika kau memaafkan seseorang, kau membuka lagi pintu rumah yang sebelumnya kau tutup rapat-rapat, yang telah membuat dirimu terperangkap dan kehabisan nafas. Ketika kau memaafkan, kau pun bisa bernafas lagi. Dan hidup.
(Page of 118)

Sejak tadi Rachel hanya memecahkan gelas.... Diberi pembuka seperti ini, tentu aku langsung berpikir apakah si tokoh utama di gambarkan sebagai pesakit? Ternyata, novel Ini tentang Rachel yang kehilangan pekerjaannya karena dipecat oleh bosnya setelah empat tahun berkerja. Rachel Depresi. Sendiri. Kehilangan sahabat-sahabatnya. Dan tidak ingin menceritakan segala perih hidupnya, kepada Ibunya. Lalu akhirnya ia menjadi Pelayan di sebuah cafe. Disanalah ia menemukan dirinya sendiri setelah lama ia kehilangan dirinya yang dulu.

Seperti memiliki magis ketika Rachel bertemu dengan Yuya—pemilik cafĂ© Evergreen, lalu berakhir bahagia. Aku ikut tersenyum. Manis.

Setiap tamparan terasa sangat pas dan tidak berlebihan. Menohok tepat pada sasaran; ketika Mia—sahabat Rachel—mengungkapkan segala perasaannya kepada Rachel dan membuat Rachel instropeksi diri, tentang Fumio yang menyadarkan Rachel tentang Ayahnya, tentang Toshi—adik Fumio—yang dengan satu tamparan telak menyadarkan Fumio bahwa ia tak akan sendiri, tentang Toichiro yang  menampar telak Rachel tentang keegoisannya.

Pernahkah kau mendengar konsep ‘menghargai orang lain’?
(Page of 159)

Konflik setiap tokoh sangat kuat. Tentang Rachel yang belum bisa memaafkan Ayahnya dan mencari dirinya yang dulu. Gamma dengan kenangan Almarhum Ibunya dan impian besarnya. Fumio dengan segala harapan besarnya akan Ayah dan adiknya. Tentang Yuya dengan masa depan hidupnya dan cafe Evergreen yang ia bangun. Tentang Kari yang berjuang sampai akhir untuk seseorang yang ia cintai. Semua diceritakan dengan sempurna.

Kekurangannya adalah font tulisan. Pusing melihat font novel seperti ini karena terbiasa melihat font biasa. Dan yang masih selalu jadi pertanyaan adalah sebenarnya selisih umur Fumio dan Toshi, satu tahun atau dua tahun ya? Di halaman yang satu, selisih usia mereka dua tahun, di halaman berikutnya selisih satu tahun. Bukan hal penting sih sebenarnya, tapi penasaran aja, haha. (Page of 52-53)* Dan, kenapa ya aku ini masih bingung apakah Toshi laki-laki atau perempuan. Di dalam cerita, dia digambarkan sebagai laki-laki, entah di halaman berapa diriku lupa memberi bookmark. Tetapi karakter perempuannya kuat sekali.

Membaca novel ini, seperti sedang dinasehati oleh sahabat sendiri. Halus, pelan, tapi juga jadi tamparan yang cukup pas untuk menyadarkan. Penulis berhasil menyampaikan pembelajaran hidup dalam Evergreen ini.

Quote-able :
Menurutku, kenangan tidak perlu dibagi. Kalau dibagi, tidak akan terasa istimewa lagi.
(Page of 41)

Dari buku-buku yang pernah kubaca, perasaan seseorang selalu mempengaruhi masakan yang dia buat.
(Page of 63)

Makanan yang dibuat dengan hati senang akan terasa lebih berkesan.
(Page of 64)
 
Persahabatan itu aneh. Seringkali kau tidak menyadari betapa kau sangat membutuhkan sahabatmu. Kau baru menyadarinya ketika mereka melupakanmu.
(Page of 83)

Begitulah ayah menyayangi kalian. Seperti empat musim. Jika yang satu berakhir, musim berikutnya akan meneruskan. Kalian tidak akan pernah bisa menghitung itu dengan matematika, tetapi dengan hati.
(Page of 100)

“Bagaimana kita tahu ayah kita menyayangi kita atau tidak?” ...
Seorang anak pasti bisa merasakannya. Pikirkanlah orangtua kita apa adanya, tanpa menyertakan rasa kesal, benci atau marah. Pikirkan semua yang telah mereka lakukan. Ingatlah ketika mereka tersenyum, memandang kita, memberikan hadiah untuk kita. Saat aku membayangkan seperti itu, saat itulah aku semakin yakin beliau sangat menyayangi aku dan adikku.
(Page of 106)

...aku harus peduli dan menyayangi oranglain seperti aku menyayangi diriku sendiri.
(Page of 117)

Aku tak pernah percaya kebetulan, Nona. Aku hanya percaya bahwa apapun bisa terjadi jika keinginan kita terlampau kuat. Terutama setelah kita menerima perlakuan tidak adil.
(Page of 159)

Betapa bahagianya jika kita bisa ikut merasakan kebahagiaan orang lain.
(Page of 170)

Kalau kau memberikan yang terbaik, kau akan mendapatkan yang terbaik juga.
(Page of 176)

Penulis dengan kemampuan istimewa tetapi tanpa kemauan atau rasa percaya diri, adalah kenyataan terburuk yang pernah ada. Tak satu pun orang yang bisa meyakinkan penulis semacam ini, kecuali dirinya sendiri. Kecuali dia bersedia bangkit dan melawan rintangan apa pun.
(Page of 183)

Bahwa saat kau memikirkan kebahagiaan oranglain, kau juga berbuat baik untuk dirimu sendiri.
(Page of 195)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar