Minggu, 30 Oktober 2016

Berterimakasih, lah


Sebelumnya, saat saya disodorkan dengan obrolan mengenai drama korea, saya terang-terangan menyatakan bahwa saya tidak tertarik. Bahkan saya pernah berdebat dengan teman dan membuatnya tersinggung, hanya karena saya tidak menyukai sikapnya yang terlalu addict dengan yang berbau korea.

Satu minggu ini, saya sedang merasa lelah—jengah—dengan segala hiruk pikuk angka yang setiap hari harus selalu saling sapa. Saya sudah mencoba melampiaskan rasa jengah ini dengan chatting dengan obrolan-obrolan absurd bersama seseorang yang cukup penting untuk saya, seseorang yang sudah mempunyai tempat khusus dihati saya. Lalu, saya juga sudah mencoba membalikkan mood membaca saya, dengan membaca novel yang sedang saya ingin baca. Tetapi, nyatanya rasa bosan itu tak juga hilang.

Dulu sekali, saya pernah menyimpan sebuah folder drama korea di flashdisk. Hanya satu, karena memang itupun tak sengaja tersimpan di dalam flashdisk milik saya. Saya mengernyit saat awal-awal mencoba menontonnya. Seperti bukan hidup di dunia saya. Saya bukan type orang yang suka menonton.

Minggu, 02 Oktober 2016

Pagi ini

Pagi ini, aku terbangun dengan sedikit mengulet, ketika sorot matahari masuk kedalam kamar melalui celah-celah lubang jendelaku. Rasa keram di kaki masih terasa meskipun semalam sudah ku oles dengan obat pereda sakit. Membuat anggota tubuh yang lain bermalas-malasan, diam. Rasanya baru saja aku terlelap dalam bising pikiran-pikiran yang terus mengarah kepadamu, pada malam yang tak lagi ramai.
 
Pagi ini, aku terbangun dengan rasa yang masih sama—Merindu. Merindu padamu, pada waktu-waktu yang mungkin kadar masanya telah habis. Merindu pada waktu yang mungkin saja tak lagi memihak padaku, padamu, pada kita. Merindu pada waktu yang mungkin saja sedang enggan menjamah bahagiaku, bahagiamu, bahagia kita. Merindu pada waktu yang mungkin saja sedang melipir karena luka itu pasti. Ya, mungkin saja.

Pagi ini, aku terbangun dengan rasa (asing) yang masih sama—Gamang. Aku tak lagi mengerti, kemana degup jantung yang berkerja lebih keras dari biasanya tiap kali kamu berada tepat disampingku, tepat dipikiranku. Tak lagi kutemukan semburat rona merah yang dulu muncul malu-malu tiap kau sedang merayu. Mungkin iapun telah pergi, ia—rasa hangat yang menyergap, lalu buatku sesak karena bahagia—tiap kali kutumpahkan segala penat resah padamu.

Pagi ini, aku terbangun dengan rasa yang masih sama—Resah. Aku resah ketika banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang ingin kutanyakan padamu. Pertanyaan yang kuyakini akan enggan kamu jawab. Bisakah beriku sebuah rasa tenang sekali lagi? Sebab, tak lagi kumengerti, bagaimana mungkin aku seperti tersesat sendirian tiap kali mencoba memahamimu. Aku merasa terhempas, tiap kali mencoba merangsek kembali kedalam hatimu. Bagaimana hatimu saat ini, sayang? Aku ingin pulang, dihatimu.

Pagi ini, aku terbangun dengan harapan-harapan yang kian menjadi asa. Bisakah aku mengulang segalanya, sekali lagi?