Selasa, 31 Maret 2015

ALICE

Saat menulis ini, aku sengaja mengabaikan beberapa pekerjaan yang sudah menumpuk di ujung meja kerjaku. Sengaja ku tutup semua jendela Microsoft Excel  agar pikiranku tak mengarah pada table-table yang dipenuhi angka-angka—si pembuat mual. Di selingi dengan memasukan sesendok Cream Soup yang pada jam makan siang tadi, baru saja dibelikan olehmu.

Beberapa orang memanggilmu dengan sebutan Kak, tapi aku lebih suka memanggil kamu dengan sebutan Mbak. Agar aku tak merasa asing saat bertegur sapa denganmu. Sayangnya di kantor nggak ada yang manggil kamu cici atau teteh yaa, hihi. Ah apapun panggilan untukmu, yang pasti kami menghormati kamu sebagai partner kerja yang lebih tua dibanding kita semua.

Dua atau tiga tahun lalu, saat baru mengenal kamu, aku enggan berakrab-akrab denganmu. Mukamu yang juteknya jauh lebih jutek daripada aku, membuat aku merasa tersaingi (yang ini bercanda). Mata kamu yang tajam saat melihat orang, membuat siapapun akan bergumam “Ih nih orang judes banget sih…”  Dan, siapapun yang mendapatkan jawaban-jawaban singkat dari kamu, pasti akan membatin hal yang sama “Nih cewek sombong banget sih..”

Tapi, semua itu terpaksa aku hapus saat lama-lama aku mengenal kamu. Kamu baik. Kamu penyayang. Kamu nggak sejudes dan sejutek yang aku pikirkan selama ini. Kamu punya pemikiran-pemikiran luar biasa, pemikiran yang nggak dimiliki oleh semua orang. Meskipun kamu selalu bilang “Gue nggak tau yaa, apa gue yang nggak normal atau gimana, soalnya yang gue pikirin tuh selalu beda dari kalian.. blablabla…”  Yeah, kamu memang selalu begitu, Mbak. Selalu beda. Tapi yaa itulah kamu.

Selasa, 24 Maret 2015

Kemarin aku bertemu denganmu. Kamu masih sama seperti sebulan lalu. Dengan kaos oblong tertutup jaket dan lesung pipi yang selalu setia pada senyumanmu. Melihatmu dengan senyummu yang sedikit itu, entah mengapa membuat hatiku senang. Ada rasa bahagia yang tak bisa ku jelaskan disini. Yang pasti, aku bersyukur akan bisa melihatmu setiap minggu. Menemaniku didalam kelas yang mungkin saja akan terasa membosankan.

Saat kamu mengetuk pintu dan mulai melangkah masuk dengan senyum yang selalu ku nilai manis itu, entah kenapa aku merasa seperti ada kepakan kupu-kupu yang ingin menerobos keluar dari dalam perut. Aku tersenyum sendiri tanpa sebab. Pikiranku berlari-lari, mengkhayal kamu duduk disampingku dan menyapaku. Aku terperangah saat tepukan kecil menepuk tanganku. Lebih terkaget-kaget saat aku menyadari, bahwa tangan yang menepuk tanganku adalah tanganmu yang berwarna cokelat dengan bulu yang lumayan tebal.

"Gue boleh duduk disini?" 

Sabtu, 07 Maret 2015

Sebab cintaku; Kamu.

Dear,  Pria-ku..

Saat menulis ini, aku sedang mencoba menghapus sisa-sisa airmata yang masih tertinggal tadi sore. Rasanya seperti mimpi. Tetapi, ketika aku melihat pipiku yang membiru, aku tahu bahwa ini nyata. Bahwa ini sedang terjadi padaku. Bahwa kamu sudah mulai melukai fisikku. Jauh setelah kamu melukai hatiku.

Bolehkah aku bertanya padamu? Pada pria yang akan selalu aku puja dan akan selalu aku cinta. Harus berapa lama lagi aku harus bertahan pada pilihanku; Kamu. Harus sesakit apa lagi aku harus terluka oleh pria yang kusayang; Kamu. Harus sehina apa lagi agar aku bisa dipandang oleh pria yang memang sudah seharusnya menjagaku; Kamu.

Harus seperti apalagi aku mencintaimu? Bukankah semua hal telah kulakukan?

Rabu, 04 Maret 2015

Pria Berkacamata; Kamu

Kakak tau kenapa aku beri judul tulisan ini, seperti itu? Ya benar, tentu saja karena kakak pakai kacamata. Kita samaan ya kak, sama-sama pakai kacamata. Juga sama-sama hobby baca. Aku masih inget loh kak, sampai sekarang kakak belum kesampaian minjem novel punyaku. Karena terakhir ketemu, adalah setahun yang lalu. Mari kak kita atur waktu lagi untuk ketemu.

Kakak masih ingat tidak perkenalan awal kita? Simple bukan? Saling chat di facebook. Lalu aku tahu bahwa kita sama-sama lulusan dari gedung biru. Kakak yang pada saat itu sudah masuk ke dunia kerja, sering kali menasehati aku. Memberi banyak masukan yang baik. Dan, aku amat bersyukur saat itu. Bersyukur bahwa ternyata masih ada orang baik seperti kakak, yang mau repot-repot nasehatin oranglain, orang yang belum lama kakak kenal.

Selasa, 03 Maret 2015

Delapan, Delapan, Delapan

Dengan tulisan ini, berarti aku sudah memenuhi janjiku padamu. Tadi pagi saat aku membaca pesan yang masuk ke bbm dari kamu, aku terharu. Senang kamu sudah bersedia membaca tulisan-tulisanku disini. Meski tak ada satupun cerita tentang kamu. Maka setelahnya, aku berjanji akan menulis tentang kamu, disini.

Aku bingung ingin memulainya darimana. Haruskah aku menceritakan awal perkenalan kita? Perkenalan yang membuatmu terluka karena aku. Atau, apakah aku boleh melompati kejadian itu? Lalu memulainya setelah kita sama-sama mampu berpikir dewasa? Ah sudahlah, biarkan jariku menari semaunya. Biarkan kenangan kita yang menuntun tarian jemariku.

Sejak kapan kamu mengenalku? Benar bukan bahwa kamu yang lebih dulu mengenal aku saat itu? Biar kutebak sedikit, mungkinkah kamu mulai mengenalku saat aku memintamu untuk menukar tempat dudukmu yang didepan, dengan tempat dudukku yang dibelakang? Atau sebelumnya kamu memang sudah melihatku? Ah aku percaya diri sekali ya? Bisakah kamu beritahu aku, sejak kapan kamu mengenal aku?

Senin, 02 Maret 2015

Terimakasih, kamu..

Disela-sela waktu istirahatku, sengaja aku menulis ini. Sudah dari lama aku ingin menuliskan tentang kamu, untuk yang pertama kalinya, sebagai seseorang yang sudah membuatku berpikir--Iya, sudah waktunya aku membuka hati untuk menerima yang baru--Klise dan berlebihan mungkin. Tapi memang benar begitu. Kemarin-kemarin sebelum kenal kamu, aku sama sekali belum kepikiran untuk membuka hati dan menerima siapapun untuk kukunci didalam hatiku.

Menghabiskan waktu dengan saling tukar chat di bbm bersama kamu, membuat aku sering tersenyum sendiri. Bagaimana mungkin, teman lama sepertimu, bisa membuat aku salah tingkah. Aneh bukan? Bahkan terkadang aku selalu bertanya dalam diam, kamukah orang yang paling tepat untukku? Kamukah yang pada akhirnya akan membuat aku merasakan jatuh cinta di setiap harinya? Atau, kamukah yang akan membuat Ayahku mengatakan "Yasudah, kalau memang dia yang membuat kamu bahagia."?