Jumat, 29 Mei 2015

Pulanglah

Saya akan memulai hidup saya tanpa kamu (lagi). Kali ini, janji saya pada diri sendiri adalah benar-benar berusaha melupakanmu. Sebab saya sadar, Tuhan tak lagi berpihak pada saya, Pada kita.

Saya terlalu bodoh saat berpikir bahwa kepulanganmu adalah pulang yang tidak akan pergi lagi. Saya lupa, bahwa kamu petualang. Dimana kamu, pada akhirnya akan pergi lagi. Meninggalkan saya lagi. 

Biar bagaimanapun, dia pernah membuatmu bertahan dirumahnya. Berbeda dengan saya yang menganggapmu akan bertahan dengan apa adanya rumah saya. Pulangmu bukan kerumah saya. Pulanglah. Dan aku, akan merindukanmu. Sesekali.


P.s: Post Line 22 Juli 2014, 19:37
Id Line : Ndaaagistaa

Kamis, 28 Mei 2015

Atau, cintaku salah?

Dari dulu memang seperti ini. Susah rasanya untuk benar-benar mencintai kamu (lagi). Terlalu sulit hatiku untuk kembali percaya padamu. Sebab, sudah teramat sering kamu mengulangnya, lagi lagi dan lagi. Harus berapa kali aku teriak di samping telingamu, kalau aku sakit. Selalu saja kamu menganggapku tak ada. Kamu pikir aku tak punya hati? Tak punya perasaan?

Hatiku tak mati sepertimu.

Mengapa begitu sulit memahamimu?
Atau, cintaku salah?

Rabu, 27 Mei 2015

Seperti apa sayangmu, Dek?

Aku terlalu takut untuk memulai semuanya dari awal lagi, Sebab, sudah terlalu jauh aku meninggalkan kamu. Dan kamu, sudah terlalu tak peduli akan aku. saat kamu meneriakkan namaku, aku menoleh. Dan seketika itu juga semua memori seakan menari. Ternyata aku lelah berjalan sendiri. Aku ingin kamu mengejarku, berjalan disampingku. Tapi entah, rasanya tak mungkin. Aku terlalu egois bukan?

Malam ini, kita bercerita dalam diam. Hanya cukup saling memandang. Sebab mata telah menjelaskan semua. Betapa hari-hari kita menjadi sepi. Betapa kita sama-sama saling merindu. Dan, sama-sama saling menyayangi. Rasa sayangku, tetap akan sama seperti dulu. Rasa sayangmu juga masih seperti dulu kan, Dek?

Rabu, 20 Mei 2015

Aku Mencintaimu, Sayang.

Saat aku dengan tak sengaja menemukan kebohonganmu, aku tak bisa lagi memaki dan membenci. Rasanya tak percaya bahwa foto itu adalah dirimu. Bagaimana mungkin, wajah seriusmu mampu berdusta. Tidakkah kamu berpikir dua kali untuk membohongiku? Tidakkah kamu berpikir bagaimana reaksiku ketika aku mengetahui kebohonganmu? Ah, kamu lucu, sayang.

Bagaimana mungkin aku masih saja tidak bisa membencimu sayang? Terlalu bodohkah aku ini? Harus sebegini besarnyakah rasa sayangku padamu, sayang? Bahkan saat pertama kali aku menanyakan kebenaran foto itu, aku sangat percaya pada jawabanmu. Aku percaya kamu tidak akan bermain-main dibelakangku. Aku percaya kamu tidak akan semurah itu, sayang.

Dan, bagaimana mungkin aku masih saja bisa tertawa sebegini kerasnya saat aku sadar, bahwa yang ku cintai bukan pria berkelas. Tapi cinta ini, lagi-lagi membodohiku, sayang. Cinta yang besar ini, tidak bisa menendangmu dengan hina. Bahkan yang kulakukan adalah  menenggelamkan kepalamu dalam pelukanku.

Maaf dan maaf lagi yang kau ucap, aku jengah sayang. Bisakah kau mengganti ucapanmu? Kamu bisa mengucapkan cinta, mungkin. Atau sekedar rayuan gombal yang menerbangkan.

Ah, lupakan. Aku tahu kamu tidak akan mengucapkan itu. Biarkan aku yang mengucapkan itu untukmu. Aku mencintaimu, sayang.

Rabu, 06 Mei 2015

Akunya, Dia.

Cerita ini lagi-lagi untuk kamu, iya kamu. Kamu yang sudah bertahun-tahun berlalu pergi tanpa penjelasan. Bagaimana bisa aku masih saja bebal untuk menunggumu. Menunggu penjelasan darimu lebih tepatnya. Aku masih saja bebal berdiri pada kemustahilan yang sebenarnya bisa saja ku halau dari hari kemarin.

Dua bulan lalu, aku masih saja terpekur pada kenangan yang kendatinya tak bisa terulang lagi. Bahkan malam sepertinya enggan menemani sepi dalam hatiku yang kosong. Langitpun ikut andil memusuhiku karena keengganannya untuk bersahabat lagi denganku, katanya aku terlalu dungu. Dan juga bintang yang sepertinya telah lelah bersuara menasehati aku yang terlalu bebal. 
Pada akhirnya, aku merelakan malamku pergi. Berjalan dan terus berjalan mencari pelarian. Hingga kutemukan Matahari di pagi hari. Katanya, aku terlalu bodoh. Diberikannya aku sebuah kotak untuk menyimpan semua lukaku pada masalalu. Kemudian dia berbisik, bahwa akan ada sosok yang lebih bisa menghargai aku di ujung jalan sana. Dipaksanya aku untuk berjalan, dan dia menantangku untuk tidak lagi menoleh kebelakang selama berjalan. Meski ragu menemaniku, aku menyanggupi.
Dan, disinilah aku berdiri. Menatap lekat pria bermata sipit yang berkulit hitam manis. Dia tersenyum melihatku. Mengulurkan tangannya. Meraih diriku dan memelukku. Kamu pernah berbahagia? Bagaimana rasanya? Apakah jantungmu bersuara dengan keras? Apakah tubuhmu tiba-tiba menggigil? Yaaa, aku sedang merasakan itu. Aku bahagia.

Dengannya, aku tak ingat lagi luka atas kepergianmu. Tak lagi ku harap penjelasan darimu, sebab Tuhan dengan sangat jelas menjelaskan padaku, mengapa kamu pergi begitu saja. Sudah pasti karena kamu bukan pria yang tepat untukku.

Terimakasih sudah pergi meninggalkanku dengan luka yang sebegini dalamnya. Hingga pada akhirnya, Semesta luluh untuk membantu mengobati lukaku dengan menuntunku pada pria yang lebih menghargai aku. Dan kamu, selamat tinggal. Aku pergi dengan penjelasan yang jelas bukan? Aku pergi karena dia.