Judul Buku : Reflection
Pengarang : Aya
Swords, Tita Rosianti, Adeliany Azfar
Penerbit : PT Grasindo
Diterbitkan, pertama kali : Jakarta, Juli 2015
Cover Design : Dyndha Hanjani Putri
Cover Design : Dyndha Hanjani Putri
Editor
: Fanti Gemala
Tebal : 232 hlm, 20 cm
ISBN : 978-602-375-109-9
Sinopsis :
Emily dan Elysa
tidak tahu apa yang sedang mengancam hidup mereka. Kematian sang Ibu dan
kepindahan ke rumah baru yang penuh dengan kejutan mengerikan telah merenggut
malam-malam penuh ketenangan keduanya. Pengakuan Elysa, itu semua karena Boy. Sosok
yang mengawasi setiap gerak-gerik mereka dalam rumah yang penuh teror itulah
yang telah mengubah segalanya. Namun Emily yakin Elysa hanya mengada-ada.
Hingga suatu saat, Emily mengalaminya sendiri.
Dan setelah
semuanya terlambat, akhirnya mereka menyadari bahwa semua mimpi buruk itu
adalah perbuatan seseorang yang tidak terduga sebelumnya. Dan dia tidak akan
pernah berhenti, sampai semua yang menghalangi jalannya tersingkirkan.
Bulan itu. Juni. Bulan tragedi.
Novel terbitan tahun 2015 ini, ditulis
oleh tiga orang penulis dan dibagi dalam tiga sudut pandang. Ada sudut pandang
dari Emily, Boy dan yang terakhir adalah sudut pandang Elysa.
Bab pertama pada sudut pandang Emily,
cukup berhasil bikin aku penasaran. Penasaran dengan sikap Elysa yang ‘aneh’.
Karena Elysa ini typikal anak yang sulit berkomunikasi dan bersosialiasi, jadi
dia lebih cenderung tidak pernah mau berselisih pendapat dengan siapapun.
Awalnya kupikir Emily dan Elysa ini bukan anak kembar, hanya adik-kakak
kandung. Begitu tahu mereka anak kembar, langsung ingat Eliza dan Erika dari
Novel Omen Seriesnya Kak Lexie Xu.
Ketika bab pertama sudah disuguhkan
tentang kematian mama mereka, aku yang sedang baperan ini, ikut merasakan
pedihnya mereka. Mungkin aku akan melakukan hal yang sama seperti Elysa, tapi
mungkin juga akan melakukan hal yang Emily lakukan.
Secara keseluruhan, untuk sudut pandang
yang diambil dari sisi Emily, aku sangat menikmati. Dari sayangnya Emily ke
Elysa, kurangnya kasih sayang yang mereka dapatkan dari Papanya, ketakutan-ketakutan
Elysa, dan keceriaan Emily yang juga membuat aku menyukai karakternya.
Rasanya, aku tidak ingin sudut pandang
Emily berakhir. Sudut pandang yang sukses sekali dibuat oleh penulis. Ringan
dan mengalir. Ini tentu membuatku semakin penasaran, siapa sih sebenarnya
dalang dari semua ini? Apakah Emily yang mungkin saja melakukan semuanya dan
menutupinya dengan keceriaan yang ia miliki? Apalagi ia menceritakan bahwa
mamanya lebih menyukai Elysa. Atau Elysa? Saudara kembar Emily yang sulit
bersosialisasi dengan orang lain dan iri kepada Emily lah yang menjadi
alasannya. Atau Boy, laki-laki yang hanya mau menemui Elysa, karena tubuh Elysa
lebih lemah dibandingkan Emily?
Baiklah mari kita lanjutkan ke sudut
pandang Boy.
Ketika sudut pandang berganti menjadi
sudut pandang Boy, aku terhempas. Rasanya sakit sekali ketika sedang melambung
karena penasaran, lalu dijatuhkan oleh narasi yang membuatku melongo dan
membuatku jadi bertanya-tanya. Loh kok
begini? Ah!
Sangat banyak sekali kalimat-kalimat
yang sangat mengganggu dan ini sangat merusak jalan cerita yang sudah dibangun
dengan apiknya oleh si penulis dari sudut pandang Emily. Tidak ada lagi cerita
mengalir seperti cerita yang sebelumnya, setiap kalimat sukses membuatku lebih
banyak mengerutkan dahi dan misuh-misuh.
Selain itu, membaca bagian ini, membuat pikiranku buntu. Semakin malas
menebak siapa dalang dari semuanya.
Sampai pada akhirnya, aku memaafkan si
penulis dari sudut pandang Boy karena pada sudut pandang Elysa diberi jalan
cerita yang nyaris seperti sudut pandang Emily. Meskipun terkesan sebagai pelengkap yang maksa
karena hanya tinggal mengikuti kisah-kisah sebelumnya, setidaknya
kalimat-kalimatnya tidak membuatku merasa gemas sendiri.
Dan, yang terpenting diberi ending yang
apik, meskipun endingnya sama persis dengan dugaan awalku. Juga senang
sekali melihat cover novel ini. Simple dan penuh dengan misteri. Terlihat jelas
dari dua siluet seorang perempuan yang sangat mirip—Emily dan Elysa. Juga judul yang sangat, pas. Nice!
Bagian-bagian yang membuatku gemas dan membuatku misuh-misuh sendiri ketika membaca :
*Page of 81 : ASTAGAJIM, di mana ini? (Dengan alasan apa ya
penulis menggunakan kata ASTAGAJIM? Kenapa ngga diganti dengan Astaga, aja?
Huft.)
*Page of 83 : Di label obat tertulis harus dimakan setiap hari, macam-macam waktunya,
tapi standar: pagi, siang, malam, sebelum makan dan sesudah makan. Enggak ada
yang tertulis “Obat diminum sebelum
galau.” Atau “Sesudah
diputusin pacar.” (Kok
ini jayus banget ya dibacanya? Terkesan maksa untuk memanjangkan kalimat, dan
pada akhirnya justru merusak kata-kata sebelumnya. Rasanya lebih baik jika
diakhiri tanpa banyolan tak berbobot seperti ini.)
*Page of 83 : Seketika pil-pil berhamburan di lantai. Mengeluarkan suara sedikit
berisik, bersamaan dengan suara botol-botol kosong yang bergulir hingga ke
ujung lemari pakaian. Biar, biar
mengaduh sampai gaduh, Cyiiiinnn... (Sumpah, ini makin aneh.
Terlalu berlebihan mengutip kata ini untuk mengumpamakan pil-pil yang
berantakan.)
*Page of 91 : Ya ampun, Nyonya, Cuma gara-gara hilang es mambo sebungkus, terus situ jadi murka begini? (Ini
kalimat macam apa sih? Sungguh merusak.)
*Page of 92 : Ya ampun, kalau saja waktu itu sudah muncul berita-berita mengenai
Komisi Perlindungan Anak, mungkin aku sudah meminta Elysa untuk meminta bantuan
kesana dan memasukkan mamanya ke penjara. (Memang sih, tahun 1999 Komisi
Perlindungan Anak belum dibentuk. Tapi rasanya, kalau memang sikap orangtuanya
separah itu, bisa tetap lapor polisi deh. Dan kalimat “Kalau saja waktu itu.”
Ini maksudnya piye sih? Memang sih alur pada cerita ini maju mundur, tetapi kok
aku bacanya kayak kurang ngepas, ya? Kurang ngeklik.)
*Page of 94 : Sedangkan sang Mama tampak kecewa karena belum sempat melakukan Jurus Kamehameha. (Please,
hey! Ngga semua pembaca tahu jurus ini, meskipun sudah
diberi keterangan dari film kartun apa. Kurang tepat rasanya diberi tambahan
jurus ini di kalimat ini.)
*Page of 95 : Selain bete habis digampar, Elysa juga harus mencuci bekas sentuhan Mamanya pakai tanah tujuh kali, atau dicuci
di tujuh sumur. Capek deh! (Kasar nggak sih? Memangnya tamparan
mamanya merupakan najis? Bukankah terlalu berlebihan menyamakan seorang Ibu
dengan hewan najis seperti itu? Gilak! Lawak banget.)
*Page of 106 : Kalau semua bagus, apa Elysa pernah mempertimbangkan kemungkinan fatal
lain, misalnya bau ketek? Ih, memangnya dia mau meneruskan generasi bau-bau ini
ke anak-anak mereka kelak? (What the hell!! Sejak kapan orang yang mau
menikah kepikiran soal bau ketek? Apa si penulis ini belum pernah merasakan
rasanya menemukan calon teman hidup? Bau ketek itu soal biasa. Please, deh!)
*Page of 107 : Aku kan enggak mungkin minta bantuan dukun, mau bayar pakai apa coba?
Celana dalam ekstra saja aku enggak punya. (Penting nggak sih, bahas celana
dalam? Ini novel genre apa sih sebenarnya? Komedi? Duh, rasanya aku semakin
ingin misuh-misuh. Gemas!)
*Page of 142 : Dia
mulai mengajukan pertanyaan yang sangat intimidatif. Tuduhannya itu semakin
membuatku sebal, apalagi Elysa mulai melempariku dengan pil. Ya ampun, El! Kamu
itu mentang-mentang kepingin buru-buru nikah, sampe kepikiran nyawer pil sama
aku. Dimana-mana juga saweran itu pake permen, uang, mie instan, HP, atau
kulkas. Biar kerasa benjutnya pas kena kepala. (Serius, si penulis kayaknya
cocok banget deh jadi penulis bergenre komedi jayus.)
Wah, lumayan banyak ya kalimat yang ku sisipkan karena
membuatku gemas.
Kalau teman-teman mau baca cerita yang bergenre thriller-psychology, novel ini masih termasuk recommended loh ya..
Kelebihan dari buku ini apa
BalasHapus