Senin, 26 Januari 2015

Selamat, 26 Januari

Happy birthday, Memey...
Happy birthday, Memey...
Happy birthday...
happy birthday...
happy birthday, Memeeeey…

Selamat mengulang tanggal 26 Januari, untuk yang ke duapuluh satu. Kamu sudah tua ya berarti? Hihi. Tahun ini, sama seperti tahun-tahun yang kemarin dan kemarinnya lagi, (mungkin) tidak ada hal yang istimewa. Tak ada hadiah yang harganya mahal, tak ada kue tart yang berbentuk menara Eiffel, juga tak ada surprise yang mambuatmu terharu. Tetapi, semoga saja, persahabatan kita yang sudah bertahun-tahun ini, lebih berharga daripada mahalnya hadiah-hadiah lucu di luar sana. Semoga saja, persahabatan kita yang sudah bertahun-tahun ini, akan selalu kokoh dan menjulang indah seperti menara Eiffel, tegak berdiri meski badai besar mencoba meleburkan persahabatan kita. Juga, semoga saja, persahabatan kita yang sudah bertahun-tahun ini, adalah anugerah Tuhan yang paling istimewa di sepanjang hidup kita. Aku selalu berdoa seperti itu, dan berharap kamu selalu meng-Amini doa tersebut.

Kamis, 15 Januari 2015

Kembali Hujan, Menjadi Sahabat

Kenal dengan kamu, adalah hal yang tak pernah terduga. Sudah berapa tahun kita berteman? Satu tahun? Dua tahun? Berapa tahun, heey? Sudah lupakah kita? Ah, masa bodo. Bukankah satu atau dua tahun, bukan jaminan untuk mengekalkan persahabatan? Sudah terlalu banyak cerita yang aku baca, tentang persahabatan yang berantakan, hancur, terlupakan dan hilang.

Bersamamu, kulewatkan hari-hari penuh tawa, juga penuh airmata. Bersamamu, kulewatkan hari-hari penuh kegilaan, atas nama hobby. Bersamamu kulewatkan hari-hari penuh kejutan, sebab kamu penuh dengan hal-hal ajaib.

Bosankah kamu mendengar ceritaku? Bosankah kamu menatap tubuh gendut ini? Atau kamu bosan menyentuh hidupku yang tak menarik ini? Ah entahlah. Aku tak rasakan semua hal itu. Ceritamu, wajah polosmu, juga hidupmu yang sederhana, tak cukup membuatku ingin berhenti bersamamu, bersahabat denganmu.

Selalu, hujan menemani kita. Ini yang sering ku katakan padamu, bahwa disetiap titik-titik hujan yang turun, ia sekaligus memberikanku dua rasa yang teramat menakjubkan. Bahagia dan sakit yang luar biasa. Bahagia bersamamu, dan sekaligus sakit saat kenangan itu terjaga dari tidurnya.

Berapa banyak ide tulisan kita yang mengalir saat hujan turun? Sebanyak bruelee yang kita teguk? Atau sebanyak burger yang menyesak didalam perut? Atau sebanyak novel-novel yang kita jelajahi? Tak terhitung bukan?

Persahabatan ini, semoga mengekalkan arti aku, kamu dan mereka.

Ps: Di dedikasikan untuk Lina Sari, Jihan Mardiana, Amalia Cahya dan seluruh member LMF.
Love all,

Rinduku, hujan

Hujan adalah temanku. Juga musuhku. Hujan memberikanku kebahagiaan. Juga berikanku rasa sakit. Tetes hujan seringkali membuat senyumanku luntur. Tetes hujan juga seringkali membuat aku terpaksa meneteskan airmata. Airmata yang sesungguhnya sudah lama ku sembunyikan di dasar mataku.

Sudah berapa kali hujan yang kulalui tanpamu? Sudah tak terhitung berapa banyak rintik hujan yang ikut membasahi pelupuk mata. Sudah panjang perjalananku yang kulalui ditengah genangan air. Dan akhirnya terhenti disana. Dibawah lengkungan pelangi yang kau ciptakan. Pelangi indah yang hanya sebentar membuatku tersenyum. Lalu menghilang, lagi.

Pernahkah kamu menginginkan aku? Seperti aku yang selalu menginginkanmu. Pernahkah kamu berniat menemaniku? Seperti aku yang ingin selalu ada disampingmu. Pernahkah kamu peduli dengan airmata yang menetes dari pelupuk mataku? Seperti aku yang peduli untuk membuatmu selalu tersenyum. Pernahkah kamu tahu, sebanyak apa goresan luka yang tak terlihat di hatiku? Seperti aku yang tahu tentangmu, tentang apapun itu.

Rindukah ini namanya? Jika aku inginkan hujan kembali turun, meski aku tahu, setelahnya aku akan kembali terluka.

Selasa, 13 Januari 2015

Perempuan Surabaya

Teruntuk kamu, lagi. Tulisan ini tidak akan pernah berhenti bercerita tentang kamu, tentang kita. Entah, kebaikan apa yang telah aku lakukan, sehingga Tuhan mengirimkan orang sebaik kamu untuk menjadi sahabatku. Menerimaku. Dan menghargaiku.

Saat yang lain mengatakan suaraku bagus, hanya kamu yang dengan cuek mengatakan suaraku jelek, hancur lebur dan bikin gendang telingamu rusak. Saat yang lain selalu mengatakan sabar untuk yang kesekian kalinya untuk setiap masalahku, hanya kamu yang dengan singkatnya mengatakan bahwa semua masalah adalah konsekuensi kehidupan. Iya, memang benar begitu adanya, kelelahan dan kepenatan ini adalah konsekuensi atas keputusan-keputusan yang telah kuambil. Lagi-lagi, kamu membuatku berpikir ulang jika ingin mengeluh.

Dan, seperti malam-malam sebelumnya, kamu menemaniku dengan chat yang lebih banyak nggak jelas dan nggak pentingnya. Lagi-lagi, kamu bilang aku gila. Yeah, bersamamu memang selalu saja bisa membuatku gila. Hilang akal. Terlalu banyak pembicaraan ngalor-ngidul. Karena, saat denganmu, sepertinya Duniaku berubah.

Terimakasih, perempuan Surabaya-ku. Tetaplah duduk disitu, iya disitu, disampingku. Tetaplah menjadi sahabatku yang paling gila. Aku menyayangimu, yut.

Perempuan Jakarta,
Yang bercita-cita ke Surabaya,
Untuk menemui perempuan Surabaya yang satu ini

Jumat, 09 Januari 2015

Hijab [?]

Aku memutuskan untuk berhijab, pertama kali pada tanggal 4 Desember 2012. Aku siap berhijab karena nadzarku sendiri saat hatiku bimbang menunggu perpanjangan kontrak kerja di tempat kerjaku sekarang. Sungguh ini adalah keputusan paling berani yang pernah aku lakukan. Mengapa begitu? Karena, aku adalah anak yang terlahir dari kedua orangtua yang tidak mewajibkan anaknya berhijab. Juga, dibiarkan memakai baju minim dan celana pendek, yang auratnya tak tertutup. Tapi, bukan berarti orangtuaku kafir, mereka membekali ilmu agama yang paling mereka mengerti, juga membiayaiku untuk mengaji. Aku sangat mengerti, sampai mana orangtuaku paham tentang Agama. Dan, aku tidak akan pernah mencela, menghina dan menghardik mereka. Seburuk apapun pengetahuan Agama yang mereka miliki dibanding orang-orang lain, mereka adalah gerbang syurgaku. Mereka tetap mengajariku apa-apa saja hal yang baik. Juga membimbingku menjauhi hal yang buruk (Read; kecuali berhijab).

Kembali lagi kepada hijab. Sampai saat aku menulis ini, seringkali aku masih ingin kembali seperti dulu, seperti waktu dimana aku belum berhijab. Aku rindu mengenakan pakaian yang katanya kekurangan bahan itu, juga celana pendek yang tidak membuat betisku merasa terperangkap. Dan tentu, rindu menata rambutku yang gampang diatur ini menggunakan jepit-jepit lucu dan bando-bando yang berwarna-warni itu.

Minggu, 04 Januari 2015

Hujan dan Kamu

Kamu tahu apa yang tidak aku suka saat hujan turun? Bukan karena semua hal jadi terhambat karna hujan. Bukan. Bukan juga karena hujan membuat alergi ku kambuh. Bukan.

Aku tidak suka hujan. Karena saat airnya turun, saat itu juga, kenangan tentang kamu, tentang kita, menyeruak dari dasar persembunyiannya. Dan kamu tahu? Kalau sudah begitu, yang kurasa sakit, meski tanpa luka berdarah di tubuh.

Kenapa hujan? Iya, kenapa hanya saat hujan turun, semuanya terasa menyudutkanku? Apa karena kamu pergi saat hujan turun? Lalu lukaku menjadi semakin menganga, semakin perih, saat kamu pergi bersamanya di bawah payung yang sama. Dengan senyum. Senyum yang bagai racun untukku.

Kenapa sebegini bencinya aku pada hujan? Meski aku cinta pada airnya yang dingin. Apa karena kamu mengajarkan aku tentang benci yang tak beralasan? Atau, apakah kamu alasan aku membenci hujan? Sebab, aku selalu saja merindumu, saat hujan. Iya, saat hujan.

Wanitamu yang masih saja merindu,