Aku memutuskan untuk berhijab, pertama kali pada tanggal 4
Desember 2012. Aku siap berhijab karena nadzarku sendiri saat hatiku bimbang
menunggu perpanjangan kontrak kerja di tempat kerjaku sekarang. Sungguh ini
adalah keputusan paling berani yang pernah aku lakukan. Mengapa begitu? Karena,
aku adalah anak yang terlahir dari kedua orangtua yang tidak mewajibkan anaknya
berhijab. Juga, dibiarkan memakai baju minim dan celana pendek, yang auratnya
tak tertutup. Tapi, bukan berarti orangtuaku kafir, mereka membekali ilmu agama
yang paling mereka mengerti, juga membiayaiku untuk mengaji. Aku sangat
mengerti, sampai mana orangtuaku paham tentang Agama. Dan, aku tidak akan
pernah mencela, menghina dan menghardik mereka. Seburuk apapun pengetahuan Agama
yang mereka miliki dibanding orang-orang lain, mereka adalah gerbang syurgaku.
Mereka tetap mengajariku apa-apa saja hal yang baik. Juga membimbingku menjauhi
hal yang buruk (Read; kecuali berhijab).
Kembali lagi kepada hijab. Sampai saat aku menulis ini,
seringkali aku masih ingin kembali seperti dulu, seperti waktu dimana aku belum
berhijab. Aku rindu mengenakan pakaian yang katanya kekurangan bahan itu, juga
celana pendek yang tidak membuat betisku
merasa terperangkap. Dan tentu, rindu menata rambutku yang gampang diatur
ini menggunakan jepit-jepit lucu dan bando-bando yang berwarna-warni itu.
Munafik kalau aku mengatakan aku ini baik, karena seringkali
lisanku tak henti membicarakan oranglain. Juga munafik kalau aku mengatakan
bahwa aku adalah perempuan baik-baik. Mana ada perempuan baik-baik yang masih
berdekatan dengan laki-laki yang bukan mukhrimnya. Mana ada perempuan baik-baik
yang sering pulang larut malam, meski aku hanya mengerjakan tugas kuliah
yang terpaksa dikerjakan diluar rumah bersama teman-teman, ada teman laki-laki
tentunya. Juga, mana ada perempuan baik-baik yang tidak pulang semalaman saat
malam tahun baru kemarin, hanya karena ingin menghabiskan malam pergantian baru bersama teman-teman di Pulau.
Aku jauh dari sebutan perempuan baik atau baik-baik, tapi
entah, aku sering tersulut emosi saat ada yang mengatakan “percuma pakai hijab kalau kelakuannya kayak gitu.”. Aku paham
bahwa itu hanya teguran. Dimana seharusnya aku bisa intropeksi diri lewat
kata-kata yang menyakitkan itu. Tetapi, tidak bisakah mereka—orang-orang itu,
menegur pribadiku tanpa menyangkut pautkan dengan hijab yang ku kenakan untuk
menutup kepalaku ini. Tidak bisakah mereka, menegurku dengan ucapan yang lebih
baik?
Lihatlah dari sisi lain. Bukan hal mudah untuk memutuskan mengenakan
hijab, dan menggunakan pakaian yang tertutup—meski aku jauh dari kata syar’i.
Ada perdebatan hati dan logika disana. Dimana hati ingin aku menjadi lebih
baik, juga lebih mengerti soal agama. Dan, logika sebagai lawannya, masih ingin
aku mengenakan pakaian serba pendek itu, juga menata rambut seperti dulu saat
masih duduk di bangku sekolah. Juga nafsu mata yang membuat aku iri saat ada orang dengan
gayanya tanpa hijab diluar sana.
Akupun yakin, mereka—orang-orang yang sering menyinyir—itu pun belum sempurna.
Seperti yang aku tahu, bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan segala kelebihan
dan kekurangannya. Kamu, iya kamu, sudah pasti ada kekurangannya kan? Yuk,
lebih baik sama-sama memperbaiki diri. Jangan bahagia mendapatkan keburukan
oranglain. Juga jangan merasa puas atas kelebihanmu. Manusia adalah tempatnya
khilaf. Jangan lagi membahas tentang hijab oranglain yang menurutmu belum benar itu. Kamu bukan Tuhan yang berhak mencerca ciptaanNya.
Wanita berkerudung coklat susu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar