Cerita ini lagi-lagi untuk kamu, iya kamu. Kamu yang sudah bertahun-tahun berlalu pergi tanpa penjelasan. Bagaimana bisa aku masih saja bebal untuk menunggumu. Menunggu penjelasan darimu lebih tepatnya. Aku masih saja bebal berdiri pada kemustahilan yang sebenarnya bisa saja ku halau dari hari kemarin.
Dua bulan lalu, aku masih saja terpekur pada kenangan yang kendatinya tak bisa terulang lagi. Bahkan malam sepertinya enggan menemani sepi dalam hatiku yang kosong. Langitpun ikut andil memusuhiku karena keengganannya untuk bersahabat lagi denganku, katanya aku terlalu dungu. Dan juga bintang yang sepertinya telah lelah bersuara menasehati aku yang terlalu bebal.
Pada akhirnya, aku merelakan malamku pergi. Berjalan dan terus berjalan mencari pelarian. Hingga kutemukan Matahari di pagi hari. Katanya, aku terlalu bodoh. Diberikannya aku sebuah kotak untuk menyimpan semua lukaku pada masalalu. Kemudian dia berbisik, bahwa akan ada sosok yang lebih bisa menghargai aku di ujung jalan sana. Dipaksanya aku untuk berjalan, dan dia menantangku untuk tidak lagi menoleh kebelakang selama berjalan. Meski ragu menemaniku, aku menyanggupi.
Dan, disinilah aku berdiri. Menatap lekat pria bermata sipit yang berkulit hitam manis. Dia tersenyum melihatku. Mengulurkan tangannya. Meraih diriku dan memelukku. Kamu pernah berbahagia? Bagaimana rasanya? Apakah jantungmu bersuara dengan keras? Apakah tubuhmu tiba-tiba menggigil? Yaaa, aku sedang merasakan itu. Aku bahagia.
Dengannya, aku tak ingat lagi luka atas kepergianmu. Tak lagi ku harap penjelasan darimu, sebab Tuhan dengan sangat jelas menjelaskan padaku, mengapa kamu pergi begitu saja. Sudah pasti karena kamu bukan pria yang tepat untukku.
Terimakasih sudah pergi meninggalkanku dengan luka yang sebegini dalamnya. Hingga pada akhirnya, Semesta luluh untuk membantu mengobati lukaku dengan menuntunku pada pria yang lebih menghargai aku. Dan kamu, selamat tinggal. Aku pergi dengan penjelasan yang jelas bukan? Aku pergi karena dia.