Saat menulis ini, aku sengaja mengabaikan beberapa pekerjaan
yang sudah menumpuk di ujung meja kerjaku. Sengaja ku tutup semua jendela Microsoft Excel agar pikiranku tak mengarah pada table-table
yang dipenuhi angka-angka—si pembuat mual. Di selingi dengan memasukan sesendok
Cream Soup yang pada jam makan siang
tadi, baru saja dibelikan olehmu.
Beberapa orang memanggilmu dengan sebutan Kak, tapi aku lebih suka
memanggil kamu dengan sebutan Mbak. Agar aku tak merasa asing saat bertegur
sapa denganmu. Sayangnya di kantor nggak ada yang manggil kamu cici atau teteh yaa, hihi. Ah apapun panggilan untukmu, yang pasti kami
menghormati kamu sebagai partner kerja yang lebih tua dibanding kita semua.
Dua atau tiga tahun lalu, saat baru mengenal kamu, aku
enggan berakrab-akrab denganmu. Mukamu yang juteknya jauh lebih jutek daripada
aku, membuat aku merasa tersaingi (yang ini bercanda). Mata kamu yang tajam
saat melihat orang, membuat siapapun akan bergumam “Ih nih orang judes banget sih…” Dan, siapapun yang mendapatkan jawaban-jawaban
singkat dari kamu, pasti akan membatin hal yang sama “Nih cewek sombong banget sih..”
Tapi, semua itu terpaksa aku hapus saat lama-lama aku
mengenal kamu. Kamu baik. Kamu penyayang. Kamu nggak sejudes dan sejutek yang
aku pikirkan selama ini. Kamu punya pemikiran-pemikiran luar biasa, pemikiran
yang nggak dimiliki oleh semua orang. Meskipun kamu selalu bilang “Gue nggak tau yaa, apa gue yang nggak
normal atau gimana, soalnya yang gue pikirin tuh selalu beda dari kalian..
blablabla…” Yeah, kamu memang selalu
begitu, Mbak. Selalu beda. Tapi yaa itulah kamu.